Minggu, 08 November 2015

DIRIKU UNTUK KALIAN

Agama, Kekerasan dan Perdamaian (Perspektif Agama-Agama)

Menurut ajaran agama Islam, agama menjadi sumber nilai, semangat, dan institusi terakhir untuk mencari makna hidup. Agama untuk manusia adalah sebagai kekuatan pembebas, agama menawarkan sekumpulan nilai, ajaran, visi, dan ketentuan normatif. Manusia memiliki kebebasan untuk merespon tawaran-tawaran agama. Manusia memerlukan agama untuk meningkatkan kualitas hidupnya sendiri, bukan agama yang memerlukan manusia. Agama hendak membantu manusia untuk melakukan aksi pencerahan, dan aksi pembebasan manusia dari situasi keterpenjaraan seperti penjara, kemiskinan, kekayaan, komunalisme, dsb.

  Nabi Muhammad saw diutus membawa ajaran Islam ke dunia, maka Islam adalah rahmatan lil’alamin, Islam adalah rahmat bagi seluruh manusia. Ajaran agama merupakan sesuatu yang ideal, misalnya Islam itu cinta damai, Islam itu indah, Islam cinta kedisiplinan, dan Islam itu rahmat bagi seluruh alam, dsb.
    Namun sekarang marak muncul permasalahan yang mengatasnamakan agama. Permasalahan agama sesungguhnya tidak dapat dilepaskan dengan permasalahan sosial, karena agama setelah dipeluk oleh umat manusia, maka sarat dengan persoalan sosial terutama yang berhubungan antara sesama manusia. Terkadang suatu ajaran dari sumber yang sama, dengan kalimat yang sama dapat menimbulkan pemahaman yang berbeda, dan pada akhirnya akan menimbulkan praktik yang berbeda pula, bahkan sangat memungkinan menimbulkan konflik, padahal secara dogmatik, ajaran agama selalu menghendaki adanya kedamaian, dan keharmonisan. Namun pada kenyataannya konflik yang dipicu oleh masalah agama itu selalu muncul ke permukaan. Misalnya konflik antara pemeluk agama di Ambon, orang Madura dan Dayak di Kalimantan, bahkan konflik antar pendukung partai di Pekalongan dan Jepara, hampir semuanya dipicu melalui sentimen keagamaan, misalnya menghina ajaran agama atau tokoh agama, pembakaran tempat ibadah, pelecehan Kitab Suci dsb.  Tetapi konflik tersebut bukan hanya disebabkan oleh unsur agama namun mungkin ada unsur lain yang menyebabkannya.
     Dalam berbagai konflik yang sering terjadi sekarang wajah Islam agaknya selalu beriring dengan label anarkis dan anti kebebasan. Cap fundamental, ekstrem, dan bahkan teroris seakan sangat akrab dengan komunitas “orang” yang memeluk agama Islam. Generalisasi perilaku “sekelompok” muslim seringkali menjadi justifikasi muka Islam sebagai agama, sehingga label-label negatif tadi selalu pantas untuk diembelkan dengan Islam. Namun pemberian label negatif terhadap agama Islam ini tidak adil karena kasus tersebut hanya dilakukan oleh sebagian kecil umat Islam. Justru umat Islam yang berfikiran moderat jauh lebih banyak dan tidak setuju dengan cara-cara yang dilakukan oleh mereka itu.
    Agama Islam yang disebarkan dan diajarkan oleh Nabi Muhammad saw merupakan agama yang ditujukan demi kesejahteraan dan keselamatan seluruh umat dan alam. Sesungguhnya perdamaian merupakan salah satu prinsip dalam Islam yang ditanam secara mendalam dalam hati kaum muslimin sehingga menjadi bagian dalam kehidupan mereka. Islam itu cinta damai.  Islam diturunkan oleh Allah swt ke muka bumi dengan perantaraan seorang Nabi yang diutus kepada seluruh manusia untuk menjadi rahmat bagi seluruh alam. Islam bertujuan menciptakan perdamaian dan keadilan bagi seluruh manusia, sesuai dengan namanya yaitu al-Islam. Karena itu, Islam diturunkan bukan untuk memelihara permusuhan atau menyebarkan dendam kesumat di antara umat manusia. Islam justru memerintahkan kita memiliki sifat pemaaf, namun tetap memperhatikan agar kejahatan tetap diberi hukuman setimpal agar tidak muncul kejahatan lain. Islam memerintahkan agar manusia selalu berbuat baik,  sekalipun terhadap orang yang jahat kepadanya, Islam memerintahkan manusia berendah hati, namun jangan melupakan harga diri. Namun, Islam melarang bersikap lemah dan meminta damai dalam peperangan ketika belum mencapai tujuan.
Agama adalah suatu ajaran yang mengajarkan kasih sayang kepada siapa saja tanpa terkecuali, dan agama membawa misi dasar luhur yaitu kerukunan, persaudaraan, perdamaian, dan keselamatan universal. Namun dalam berbicara tentang kaitan agama dengan kekerasan adalah sesuatu hal yang paradoks. Di satu sisi, agama apapun tanpa terkecuali mengusung misi perdamaian, kerukunan, dan keselamatan, sekaligus menolak bentuk kekerasan dan tindakan anarki. Tetapi di sisi lain, terkadang agama dituding penyebab, penggerak bahkan penggagas dari suatu kekerasan dan anarki.  Tindakan kekerasan yang melibatkan umat beragama sering terjadi misalnya liputan kemarahan Umat Islam yang dilukai oleh sebuah film yang dibuat oleh seseorang di AS yang dianggap menghina dan melecehkan Nabi Muhammad, konflik di Irlandia Utara antara agama Protestant dan Katolik yang disebabkan karena masalah etnis-politis, di Sudan antara Arab Islam dan Negro yang Kristen, Hindu melawan Islam di India, Hindu melawan Buddhanisme di Srilanka. Hal itu, seakan menegaskan bahwa tindakan kekerasan dan anarki yang disebabkan oleh agama bukanlah isapan jempol belaka tetapi memang nyata. Namun muncul berbagai pertanyaan apakah tindakan-tindakan anarki yang terjadi dan dilakukan pemeluk agama benar-benar didorong oleh ajaran agama atau sesungguhnya merupakan tindakan sosial belaka yang memperoleh pembenaran agama? Konflik-konflik yang terjadi bukanlah konflik agama, tetapi apa yang terjadi adalah konflik yang dicari-cari pembenarannya pada ajaran agama. Dalam hal ini, agama diperalat oleh kelompok masyarakat dan penguasa. Penguasa menganggap kekerasan, teror, dan otoritas mutlak sebagai hak prerogratif yang tidak dapat dipisahkan dari kekuasaan.
     Persoalan hubungan antara agama dan kekerasan sesungguhnya tidaklah sederhana. Seakan agama dan kekerasan itu antara ada dan tiada. Kita hendaknya berani mengakui bahwa dunia agama, disadari atau tidak disadari telah membuat pemisahan antara orang beriman dan tidak beriman yang memungkinkan muncul kekerasan. Kelompok yang merasa diri bahwa agama mereka adalah satu-satunya yang benar memiliki sedikit simpati bagi kelompok yang berbeda. Hal inilah yang sering memicu terjadinya konflik. Konflik dan kekerasan yang melibatkan pemeluk agama sebenarnya melibatkan seluruh elemen organisasi atau kelompok keagamaan.
   Agama memang dapat dijadikan rujukan untuk kepentingan apapun, tindakan baik maupun tindakan buruk, tergantung pemeluknya dan situasi. Pemeluk agama seharusnya berani berpikir kritis dan dalam keterbukaan budi dan kebeningan hati berani membedah tafsir atas ayat-ayat dalam Kitab Suci yang berpotensi meleglimatisasi tindakan kekerasan para pemeluk agama. Dengan kata lain, tidak ada ajaran agama yang keliru, yang ada adalah kesalahan tafsir dan pemutlakannya buta atas ajaran agama oleh penganut agama. Agama itu harus dijauhkan dan dipisahkan dari kepentingan politik dan kekuasaan. Dan yang lebih penting adalah belajar dari Yesus yang melawan kekerasan dengan cinta kasih.
Relasi antara Tuhan dan manusia adalah hal utama di dalam iman kristiani. Manusia dijadikan Tuhan sebagai patner kerja yang menatalayani kehidupan sehingga berlangsung suasana damai bagi semua. Inilah tujuan utama yang diresponi manusia dengan kerendahan hati dan keterbukaan.
    Cara-cara beragama, bentuk-bentuk keagamaan dan ide-ide, sepatutnya sejalan dengan mandat Tuhan. Identitas agama sepatutnya menjadi identitas yang mendorong manusia melayani berbagai kebutuhan hidup sehingga kedamaian bisa tercapai, bukannya identitas yang menuntut manusia menjadi ekstrem. Manusia yang beragam dapat melakukan banyak hal yang bermartabat karena pemaknaan agamanya, namun ternyata ada berbagai konflik dan kekerasan berlatar pada pemaknaan tertentu dari nilai agama. Dengan kata lain, terdapat warisan kekerasan, pelanggaran HAM, dan ketidakadilan ekonomi politik yang bertentangan dengan harapan bahwa itu ditampilkan oleh manusia beragama di dalam dan melalui hidupnya.
    Perkara  kekerasan menjadi masalah serius pada kehidupan masa kini apalagi yang melibatkan agama. Kekerasan ini bersumber dan nampak dalam banyak hal yaitu ketidakadilan, budaya kekerasan yang dianggap warisan, kompetisi yang membenarkan berbagai cara, dsb. Namun sebagai orang beriman kita harus berjuang melawan setiap kekerasan yang terjadi. Kita harus menghadirkan damai dan memelihara damai.
      Beberapa hal yang dapat dilakukan adalah :
a.       Pendidikan perdamaian
Pendidikan perdamaian dilakukan mulai dalam komunitas agama untuk meninjau cara pikir dan praktek beragama yang tidak sensitif terhadap orang lain dan komunitas lain. Pelajaran dari daerah yang mengalami konflik dan kekerasan mengetengahkan pentingnya kebersamaan dan mengedepankan kemapanan dan kebijaksanaan masyarakat untuk bersama memikirkan dan mempromosikan perdamaian.
b.      Perhatian terhadap budaya damai dengan menggunakan nilai-nilai luhur dan bentuk-bentuk dalam tradisi setiap komunitas yang tidak lekang dimakan budaya kekerasan. Bahwa terdapat nilai dan bentuk warisan masa lalu yang patut dipraktekkan sebab terbukti menyokong masyarakat dalam memelihara harmoni sambil mengupayakan hidup bersama yang saling menjaga, memperhatikan, dan berbagi.
c.       Belajar dari persoalan-persoalan kekerasan dan konflik, contohnya yang diusulkan oleh Scoot Appleby, ia menawarkan transformasi dari kekerasan menuju perdamaian dalam tiga dimensi : managemen konflik, resolusi konflik dan pembaruan struktur. Managemen konflik menyangkut pencegahan konflik. Resolusi konflik menyangkut advokasi dan kesaksian dari yang terlibat di dalam konflik. Pembaruan struktur adalah upaya untuk mengalamatkan akar penyebab konflik dan mengembangkan praktek jangka panjang dan institusi yang kondusif bagi masyarakat yang kondusif untuk berlangsungnya damai dan relasi tanpa kekerasan.

    Banyak cara lain yang dapat digunakan sebagai pergulatan pekerjaan perdamaian, sebab perjuangan untuk menghadirkan perdamaian adalah jalan panjang namun membuat kualitas kemanusiaan teruji dan memperlihatkan hal yang memang sepatutnya menjadi bagian dari kemanusiaan.

7 komentar:

  1. Agama memang dapat dijadikan rujukan untuk kepentingan apapun, tindakan baik maupun tindakan buruk, tergantung pemeluknya dan situasi. Pemeluk agama seharusnya berani berpikir kritis dan dalam keterbukaan budi dan kebeningan hati berani membedah tafsir atas ayat-ayat dalam Kitab Suci yang berpotensi meleglimatisasi tindakan kekerasan para pemeluk agama. Tetap semangat dalam meninspirasi orang2 di seluruh dunia

    BalasHapus
  2. sngat benar yang di katakan sodarri venthy terkadang agama dapat di jadikan tujuakan untuk kepentingan apapun, tetapi tdk semuanya berdasarkan agama tetapi di lihat dari lokassi dan keadaan

    BalasHapus
  3. venthy : wah benar sekali kak apa yang kakak katakan bahwa agamadapat di jadikan tuntunan jalan hidup tetapi jika di imbangi oleh akal dan berfikiran kritis dalam menjalankan hal-hal yang berguna bagi lingkungannya

    BalasHapus
  4. nana : sekarang tergantung pada penganut agama itu sendiri bagaimana dia dapat menanggapi itusendiri trimakasih

    BalasHapus
  5. akhir-akhir ini memang sudah minim yang namanya kemanusiaan antar umat beragama jadi mudah sekali agama kekerasan itu muncul

    BalasHapus
  6. mewujudkan kedamaian itu harus dimulai dari diri kita masing-masing kemudian kita menyebarkannya pada orang-orang sehingga ruang lingkupnya menjadi lebih luas lagi

    BalasHapus
  7. kedamaian memang menjadi salah satu penguji seberapa manusiawi manusia di dunia ini

    BalasHapus