
Praksis
Islam di Indonesia yang disebut Islam Nusantara berpotensi menjadi teladan baru
dari dunia Islam di mata dunia. Hal ini menimbang perkembangan sosial politik
di sejumlah negara dan komunitas Islam dunia, termasuk di Timur Tengah, yang
kini dilanda konflik sosial politik yang mengarah pada runtuhnya peradaban
setempat.
Meski ada berbagai pendapat, Islam Nusantara dipahami tetap merupakan
Islam otentik sebagai ajaran Nabi Muhammad SAW sekaligus mampu mendamaikan
pergaulan pemeluknya dan bahkan menyejahterakan lingkungannya, termasuk
non-Muslim.
Demikian
pendapat sejumlah pakar dalam Seminar Internasional "NU dan Islam
Nusantara" yang digelar dalam rangkaian pelaksanaan Muktamar Ke-33
Nahdlatul Ulama di kompleks kampus Universitas Islam Negeri Sunan Ampel (UINSA)
di Surabaya, Rabu (1/7/2015).
Hadir
dalam seminar yang digelar kerja sama harian Kompas dengan Panitia Muktamar NU
Ke-33 ini antara lain Rektor UINSA Abdul A'la, Dekan Fakultas Adab UINSA yang
juga Ketua Forum Kerukunan Umat Beragama Ghazali Said, dan penulis biografi Gus
Dur dari Universitas Monash, Australia, Greg Barton. Hadir juga Wakil Gubernur
Jawa Timur, yang juga Ketua Panitia Daerah Muktamar Ke-33 NU, Saifullah Yusuf
dan Ketua Pengurus Wilayah NU Jatim KH Mutawakil Alalah.
Gus
Ipul, panggilan akrab Saifullah Yusuf, menjelaskan, Islam model Nusantara
memberikan pandangan lain terhadap serbuan tawaran model Islam yang diklaim
serta dikampanyekan organisasi dan kelompok komunitas yang menamakan diri
mereka Islam dari lingkungan internasional. Mereka telah mengajak dan merebut
perhatian generasi muda Muslim, termasuk generasi muda NU.
"Islam
Nusantara mengajak masyarakat tidak mencemaskan Islam, misalnya melihat Islam
di Afganistan, dan akan melihat kesejukan pada Islam Nusantara di
Indonesia," katanya.
Ghazali
Said menjelaskan, merebaknya paham jihad Islam yang mendorong pemuda Muslim
melakukan kekerasan dan mengampayekan radikalisme agama muncul beberapa tahun
terakhir ketika paham Islam dari berbagai negara di Timur Tengah, Asia Tengah
dan Asia Selatan menyebarkan ideologinya. Indonesia dan terutama generasi muda
NU menjadi sasarannya.
Menurut
Abdul A'la, yang berpengalaman mendamaikan kelompok penganut Syiah di Madura
dengan warga setempat, para juru kampanye Islam internasional itu mengembangkan
cara yang efektif dan sistematis, menyebar agen-agen, mencetak selebaran,
majalah, video, berkampanye di televisi dan masjid, bahkan menggunakan sarana
modern media sosial, menyebarkan ajakan mengubah Indonesia menjadi negara Islam
dan menerapkan sistem kenegaraan berdasarkan suatu sistem utopis.
"Mereka
memiliki uang untuk memberikan beasiswa kepada ratusan pemuda NU setiap tahun,
dan setelah pulang para pemuda NU ini berubah menjadi berpaham radikal,"
kata Ghazali.
Pandangan
Mereka
diajari pandangan Islam yang sepenuhnya baru, suatu paham utopia Islam, tentang
masa kejayaan Islam dan menyebut sistem itu atas nama "kekhalifahan".
Ini mengherankan, kata Abdul A'la, karena mereka tidak lagi merujuk sistem
kekhalifahan yang pernah ada dan bisa dirujuk sistemnya dalam kitab-kitab
pustaka Islam lama, tetapi menciptakan sistem lebih baru yang belum pernah ada.
"Hasil
akhirnya berujung pada kekerasan. Mereka lebih tampak sebagai komunitas putus
asa setelah tumbangnya rezim kuat di negara-negara Timur Tengah, dan memimpikan
sesuatu yang tak pernah ada, yang hanya berujung pada tindakan pelanggaran hak
asasi manusia," ungkapnya.
Abdul
A'la mengatakan, jangan berharap muncul peradaban Islam maju di Timur Tengah
mengingat peradaban mereka telah dihancurkan sendiri. "Bagaimana mungkin
akan muncul peradaban maju dengan dasar kerusakan seperti itu," katanya.
Greg
Barton mengemukakan, NU merupakan kekuatan sosial politik berdasar Islam yang
memberikan harapan bagi masa depan Indonesia dan masa depan Islam dalam
pergaulan internasional. Jumlahnya besar meski tidak sebesar Tiongkok atau
India.
NU
dengan warisan sejarahnya, kekayaan pengetahuan khazanah Islam-nya, serta
kebesaran hati dan ajaran para pendirinya sangat bisa diandalkan sebagai bentuk
Islam yang damai, yang menghindari konflik, tak ragu-ragu menerima Indonesia
sebagai NKRI dengan Pancasila, UUD 1945, dan Bhinneka Tunggal Ika. Hal ini
sangat penting bagi Indonesia yang kini telah menjadi negara demokrasi besar.
saya bangga dengan Indonesia yang dapat menunjukan kedamaiannya di mata dunia
BalasHapusindo emang is the best !! walaupun sering konflik tapi punya banyak nilai positif yang dapat di banggakan ya salah satunya perdamaiannya dalam beragama
BalasHapuskedamaian beragama di Indonesia memang patut jadi panutan dunia !!
BalasHapusbanyak tokoh-tokoh dunia yang sudah mengakui bahwa indo patut dijadikan contoh dunia dalam hal perdamaian beragama
BalasHapusKerukunan beragama di Indonesia patut dibanggakan karena Indonesia terkenal sebagai negara dengan perbedaannya yg tinggi baik itu agama, suku, ras, bahasa namun warganya tetap hidup berdampingan
BalasHapus