Agama adalah sesuatu yang diperuntukkan bagi manusia, karena hanya manusia mahluk yang diberi potensi nurani, akal dan nafsu yang mendorong pada kebaikan dan keburukan, tinggal bagaimana potensi itu dimaksimalkan dan difungsikan pada proporsinya masing-masing. Semua manusia pada dasarnya memiliki fitrah kebaikan saat pertama kali lahir kedunia, kemudian seiring pejalanan waktu hingga mencapai usia tertentu, dimana manusia telah mampu membedakan dan memilih yang baik dan yang buruk (aqil baliq), manusia kemudian tiba pada fase dimana semua perbuatannya dihukumi baik atau buruk yang konsenkuensinya adalah dosa atau pahala. Sehingga potensi nurani, akal dan nafsu pada diri manusia harus diberi koridor yang tidak menyalahi fitrahnya, itulah mengapa Agama hadir, agar manusia dapat meneguhkan fitrah kemanusiaannya, selain tentunya menjadi pedoman hubungan antara manusia dengan Tuhan, manusia dengan manusia dan manusia dengan alam.
Perdamaian
Prinsip dasar dari akal manusia adalah bebas, sehingga manusia memiliki kebebasan untuk memilih sikap dan perbuatannya, entah itu baik atau buruk, tapi manusia tidak akan pernah terbebas dari konsekuensi pilihannya itu. Karena selain diberi kebebasan memilih (mukhayyar), manusia yang telah mencapai fase aqil baliq juga dibebankan hukum-hukum atau perintah dan larangan (mukallaf).
Sehingga agama menjadi bagian yang paling penting dalam kehidupan sebagai sumber pedoman manusia dalam menjalankan peran kehidupannya. Sehingga ajaran agama harus menjiwai dan menjadi spirit konstitusi, perundang-undangan dan hukum dalam kehidupan bernegara, bahkan hukum-hukum agama bisa menjadi bagian dari hukum negara dalam bentuk yang tidak kaku dan formalistik, mengingat Indonesia memiliki keberagaman agama, keyakinan dan faham keagamaan.
Agama berasal dari bahasa sansekerta a yang berarti tidak dan gama yang berarti kacau, sehingga makna dari dari agama adalah ketidakkacauan, ketidakrancuan atau merupakan makna terbalik dari keteraturan atau harmoni. Jadi agama menuntut terciptanya kehidupan yang rukun, aman dan damai di tengah-tengah manusia. Bertitik tolak dari pengertian dasar dari agama sebagai sesuatu yang bertujuan menciptakan kedamaian dan keselamatan, sehingga menjadi sangat kontradiktif dengan realitas keberagamaan segelintir orang hari ini, dimana mereka kerap kali mengatasnamakan agama untuk merusak perdamaian di tengah-tengah kehidupan masyarakat. Padahal tidak ada satupun agama yang tak mengajarkan perdamaian sebagai fundamen dari kehidupan ummat manusia.
Islam misalnya, bukan hanya menjadi agama rahmat bagi muslim (rahmatan lil muslimin), tetapi justru diperuntukkan menjadi rahmat bagi seluruh ummat manusia (rahmatan lil alamin). Dalam maqasidu as-syariah menurut pandangan As-syatibi, perlindungan terhadap jiwa manusia menjadi hal yang paling penting, karena pada hakikatnya hukum-hukum Allah diperuntukkan bagi kemaslahatan manusia. Sehingga perdamaian menjadi pra-syarat mutlak terpeliharanya jiwa dan raga manusia dari berbagai ancaman, baik secara fisik maupun psikis.
Humanisme Gusdur
Dalam Islam manusia disebut dengan dua terminologi, Abdu dan Khalifah. Abdu menunjukkan kedudukan manusia sebagai hamba yang harus menyembah semata-mata kepada Allah. Sedangkan Khalifah menunjukkan eksistensi manusia sebagai wakil Tuhan di dunia yang memiliki tugas dan tanggungjawab untuk menyelesaikan berbagai persoalan kehidupan yang terjadi, seperti ketidakadilan, kemiskinan, kebodohan, kerusakan lingkungan, dan banyak problem lainnya. Sebagai khalifah manusia juga dituntut untuk selalu berusaha menciptakan harmoni dalam kehidupan, mengelolah segala potensi dan sumberdaya kehidupan untuk mewujudkan kemaslahatan bersama.
Gus Dur pernah mengeluarkan statemen kontroversial, kemudian menjadi sebuah judul buku yang merangkum beberapa poin pemikirannya, bahwa “Tuhan Tak Perlu Dibela”, ketika itu sontak menimbulkan perdebatan dikalangan ummat beragama di Indonesia, khususnya Islam sebagai agama yang dianut oleh mayoritas masyarakat. Stigma negatif pun bermunculan yang semuanya menunjuk muka sang Guru Bangsa. Sebenarnya statemen itu tidak seharusnya ditanggapi secara reaksioner, karena jika kita memahami ajaran agama secara sungguh-sungguh, kita akan meyakini bahwa Tuhan adalah zat yang maha segala-galanya dan tak butuh dibela, karena membela Tuhan justru seolah tidak yakin akan Kemahabesaran dan Kemahatinggian-Nya. Apa yang penting dilakukan adalah mengerahkan segala upaya dan potensi untuk senantiasa beribadah dan menyembah kepada Tuhan dimana dan kapanpun, bukan hanya dalam ritualitas ibadah wajib. Tidak sampai disitu keyakinan terhadap Tuhan harus dibuktikan dengan pembelaan terhadap manusia yang diperlakukan tidak adil, ditindas, dimiskinkan hingga dirampas hak-haknya. Oleh karenanya apa yang berusaha dikritik oleh Gus Dur sebenarnya adalah perilaku ummat beragama yang sering mengatasnamakan Tuhan untuk melakukan kekerasan dan diskriminasi, yang pada hakikatnya justru menyalahi ajaran agama yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan.
Gus Dur dalam gagasan humanisme-nya berupaya mengajak semua orang untuk melihat segala hal yang terjadi dengan menggunakan perspektif kemanusiaan, tidak melulu dengan cara pandang ideologis, sehingga doktrin keagamaan harus mendorong terciptanya solusi terhadap berbagai problem kemanusiaan yang terjadi, bukan justru semakin memperkeruh situasi.
Agama bukanlah tujuan, melainkan jalan untuk mencapai kebenaran, rahmat dan ridha Tuhan, sebagai seorang penganut agama, kita tidak boleh memaksakan kehendak akan keyakinan kepada orang lain, karena jalan mana yang benar kita belum bisa memastikan, kita sekedar baru meyakini bahwa jalan yang sedang kita tempuh adalah benar. Sehingga dibutuhkan sikap saling menghargai dan menghormati pendirian terhadap keyakinan yang dianut oleh masing-masing orang, dan senantiasa membuka diri untuk membangun sebuah interaksi sosial yang sehat dan transformatif.
Bulan Desember menjadi momentum perjuangan penegakan nilai-nilai kemanusiaan, selain karena hari Hak Asasi Manusia (HAM) tepat jatuh pada Desember, juga karena kita akan kembali diuji bahwa perdamaian bukanlah sebuah ilusi. Itu harus dibuktikan dengan usaha sungguh-sungguh semua pihak dalam menjaga keamanan dan kerukunan menjelang dan saat perayaan Natal dan Tahun Baru yang tinggal menghitung hari. Apalagi pada 30 Desember nantinya, tepat lima tahun wafatnya Bapak Pluralisme, KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur), yang karena gagasan-gagasannya, kita dapat lebih memaknai nilai-nilai kemanusiaan dalam keberagamaan d itengah keberagaman. Ini karena bagi Gus Dur perdamaian hanya akan hadir di tengah orang-orang yang meyakini adanya Tuhan.
seseorang yang beragama tentunya memiliki kemanusiaan yang tinggi dalam hidupnya
BalasHapusnilai-nilai kemanusian dalam hidupsudah sulit untuk diterapkan dalam kehidupan setiap manusia karena memang arus jaman lah yang membuat semuanya berubah
BalasHapusAgama dan kemanusiaan memang memiliki korelasi yang cukup kuat karena memang agama mengajarkan kita untuk menjadi manusia yang berperikemanusiaan
BalasHapusHanya orang yang beragama yang memiliki toleransi dan rasa kemanusiaan yg tinggi
BalasHapus