Agama
dan Perubahan Sosial
Seperti
diketahui, persoalan agama merupakan hal yang sensitif, karena menyangkut
hubungan pribadi antara manusia dengan Tuhan. Agama menyangkut kesadaran
religius, yang tersembunyi dalam setiap individu. Jadi keimanan beragama
merupakan suatu hal yang tidak dapat dipaksakan. Setiap usaha memaksa, dengan
cara mewajibkan atau melarang agama tertentu merupakan pelanggaran serius
terhadap hak pribadi (Siagian, 1987). Oleh karena itu penghinaan atau
penghujatan terhadap suatu agama tertentu menjadi persoalan serius yang sulit
untuk diatasi, apalagi hanya memandang dari perspektif hokum positif.
Berdasarkan
sejarah masa lalu sebenarnya, menurut Parsen (dalam Koentjaraningrat, 1982)
Indonesia merupakan tempat pertemuan agama-agama di dunia. Keaneka-ragaman
agama yang ada di Indonesia dapat dikatakan tidak menimbulkan permasalahan atau
pertentangan, namun justru menunjukkan adanya saling toleransi, kerjasama dan
saling menghormati.
Lebih
lanjut Parsen (Adisubroto, 1993/1994) menjelaskan pula bahwa hanya Indonesia
yang mempunyai rasa keagamaan monoteisme yang demikian menyatu secara alamiah
dengan masyarakatnya. Hal itu tercermin dalam cara hidup di desa-desa yang
tidak lepas dari dasar-dasar religius, seperti misalnya adanya berbagai bentuk
selamatan. Ada beberapa tempat yang masih menghormati hewan yang disakralkan
oleh agama tertentu.
Jadi
pada dasarnya umat beragama yang berbeda-beda di Indonesia mempunyai dasar
untuk mampu hidup rukun dan berdampingan bersama. Namun demikian searah dengan
perubahan yang terjadi di masyarakat menyebabkan perubahan pula dalam hubungan
kehidupan keagamaan, antara lain ada banyak kasus kerusuhan besar yang disulut
oleh faktor perbedaan agama. Memang tidak dapat dipungkiri bahwa dalam
kehidupan bermasyarakat dan bernegara tidak dapat dilepaskan dari dinamika
kehidupan yang mendorong terjadinya perubahan sosial yang mendasar dan
bermacam-macam. Perubahan tersebut searah dengan semakin majunya masyarakat
menuju era modernisasi dan globalisasi dalam segenap bidang kehidupan.
Modernisasi
dalam masyarakat adalah suatu proses transformasi; suatu perubahan masyarakat
dalam segala aspeknya (Schoorl, 1991). Perubahan-perubahan tersebut antara lain
meliputi :
1.
Bidang politik; dari sistem-sistem yang menganut kekuasaan kepala adat / desa
yang sederhana digantikan dengan sistem-sistem pemilihan umum, perwakilan, dan
birokrasi. Selain itu persoalan keagamaan "dilarikan" menjadi
persoalan politik, karena dukungan politik sangat diperlukan untuk membesarkan
suatu kelompok / sekte agama tertentu. Akhirnya persoalan agama menjadi
kendaraan politik bagi pemimpinnya.
2.
Bidang teknologi; masyarakat yang sedang berkembang mengalami perubahan dari
penggunaan teknik-teknik yang sederhana dan tradisional ke arah penggunaan
teknologi hasil pengetahuan ilmiah. Perangkat tehnologi komunikasi yang semakin
canggih akan mengurangi sensitivitas dan keterdekatan secara social antara satu
individu dengan individu lainnya. Akhirnya akan mempermudah pada keberpihakan
pada kepentingan individual daripada menuntaskan kepentingan bersama.
3.
Bidang pendidikan ; masyarakat sekarang berusaha keras meningkatkan kemampuan
baca tulis dan mengurangi buta huruf untuk menambah pengetahuan dalam berbagai
hal/bidang kegiatan. Namun demikian berpengaruh pula dalam penafsiran akan
Firman Allah yang mulai menggunakan rasio (logika). Hal inipun menjadi bibit
persoalan internal kelompok beragama maupun antara umat berlainan agama.
Padahal kemampuan akal dalam melakukan interpretasi terhadap sebuah teks selalu
banyak mengalami kelemahan (Jamuin, 1999), apalagi menyalahi ketentuan Agama
(Mudzakarah dalam Almuslimun, 1998).
4.
Bidang sosial ; adanya mobilitas geografis dan sosial cenderung merenggangkan
sistem-sistem hierarki yang sudah ada. Anggota masyarakat yang sebelumnya
mempunyai sikap kebersamaan dan keterikatan yang tinggi pada desa/adat
istiadatnya serta kepatuhan pada tetua adat atau sesepuh, sekarang sikap
tersebut menjadi semakin berkurang dan bahkan hilang sama sekali. Selain
penyelesaian persoalan yang bisa dilakukan secara adat/ budaya berubah menjadi
penyelesaian secara hukum. Padahal sebagaimana diketahui penyelesaian hukum
tidak akan efektif karena akan berlangsung dalam jangka waktu yang lama dan
berbelit-belit.
Masih
banyak lagi perubahan-perubahan yang terjadi akibat adanya pengaruh sosial dari
kekuatan sosial yang bermacam-macam bentuknya. Perubahan-perubahan yang terjadi
dalam proses modernisasi dan globalisasi ini lambat laun tentu akan terjadi
pada setiap bangsa / masyarakat di dunia ini. Pada penelitian Chen (dalam
Brouwer,1989) tentang proses modernisasi di Singapura menemukan bahwa banyak
terjadi perubahan-perubahan akibat adanya modernisasi di segala bidang
kehidupan. Perubahan-perubahan tersebut meliputi perubahan relasi paternalistis
dalam perusahaan, relasi antara anak dan orang tua yang semakin mengendor,
gotong royong dan hidup bersama menjadi berkurang serta relasi persaudaraan
yang longgar.
Kemajuan
teknologi dari negara-negara Barat mau tidak mau akan terus merambah deras ke
negara-negara lain di dunia ini, terutama negara-negara yang sedang berkembang.
Masyarakat dunia akan menganggap bahwa modernisasi sangat diperlukan untuk
memajukan kehidupan. Hal ini karena modernisasi di segala bidang kehidupan
dianggap mempunyai pengaruh positif. Masyarakat menjadi lebih efektif dan
efisien dalam menyelesaikan pekerjaannya (Matulessy, 1992). Namun demikian
seperti dua sisi mata uang, dampak negatif dari adanya perubahan sosial menyertai
hubungan sosial atau keberagamaan.
Faktor
Penyebab Pertentangan Antar Umat Beragama
Ada
beberapa hal yang menyebabkan terjadinya permasalahan/ pertentangan antar umat
beragama, antara lain:
1.
Adanya prasangka sosial
Prasangka
merupakan fenomena yang terjadi antar kelompok yang cenderung berkonotasi
negatif (Kuppuswamy, 1973). Prasangka bisa muncul karena adanya konflik atau
kompetisi antar kelompok. Prasangka tersebut terkait erat dengan stereotipe
negatif pada kelompok lain atau stigma yang akan melekat dan diturunkan terus
menerus dalam kehidupan selanjutnya, akhirnya prasangka tersebut terlihat
sebagai dosa turun menurun yang akan selalu ditularkan dari satu generasi ke
generasi yang lain. Prasangka menjadi mengkristal karena tidak pernah ada
penyelesaian yang tuntas. Pada akhirnya prasangka yang tak kunjung selesai akan
menciptakan keinginan untuk melakukan diskriminasi dalam berbagai bidang
kehidupan. Akan muncul konsep in-group dan out-group, yang menganggap kelompok
dan orang-orang yang se ide dan se ideology sebagai kelompok yang benar, dan
sebaliknya orang lain yang tidak se ide sebagai ancaman bagi dirinya.
Sebagaimana yang terungkap dalam investigasi dari Gatra (Agustus, 2001) tentang
banyak bermunculan panglima cilik dari komunitas Islam (putih) maupun Kristen
(merah) di dalam kerusuhan Ambon, akibat dari konflik yang terus menerus dan
semakin meneguhkan anggapan atau persepsi yang negatif di antara mereka.
2.Fanatisme
yang berlebihan dan keliru dalam kehidupan beragama
Pertentangan
antar umat bergama bisa muncul bila terjadi adanya pandangan yang
mengagung-agungkan agamanya, namun menganggap rendah agama lain. Akhirnya
segala hal yang menyangkut agama lain, dianggap sebagai sesuatu yang negatif
atau bahkan lebih jauh lagi dianggap sebagai musuh yang tidak harus dihormati.
Akhirnya pandangan negatif tersebut akan menjadi bibit permusuhan antar umat
beragama. Hal ini oleh Jamuin (1999) diistilahkan sebagai klaim kebenaran yang
didasarkan atas keyakinan membabi-buta terhadap hasil interpretasi atas teks
ajaran agama. Hal tersebut karena klaim kebenaran akan mengarah pada munculnya
konflik antar pemeluk agama yang bisa meluas pada konflik pada wilayah
kehidupan yang lain.
3.Kurangnya
komunikasi
Suatu
pertentangan atau permusuhan kadangkala disebabkan oleh ketidaklancaran dalam
mengkomunikasikan pesan. Pesan ditangkap oleh orang lain sebagai sesuatu yang
berbeda dengan yang sebenarnya diinginkan oleh pemberi pesan. Akhirnya akan
terjadi kesalahan persepsi akan maksud pesan tersebut, yang berlanjut dengan ketegangan
diantara pemberi dan penerima pesan. Begitu pula dalam kehidupan beragama,
suatu ketegangan akan terjadi bila suatu hal yang dikomunikasikan oleh agama
tertentu dipersepsikan keliru oleh agama yang lain. Hal tersebut karena
kelompok-kelompok yang jarang atau tidak pernah berkomunikasi akan menggunakan
info yang sedikit tersebut untuk mengambil keputusan akan kemungkinan perilaku
orang lain. Oleh karena itu perlu adanya komunikasi antara umat beragama agar
tercapai kesamaan persepsi atau sensitivitas akan maksud dan tujuan pesan yang
dikomunikasikan.
4.
Pencampur adukan kepentingan agama dengan kepentingan social, politik, ekonomi
Kepentingan
agama memang tidak dapat dilepaskan dari faktor-faktor lain yang melingkupinya.
Merunut sejarah masa lalu, agama tidak dapat dipisahkan dari
kepentingan-kepentingan lain. Akhirnya kadangkala umat beragama terpecah
menjadi berbagai kepentingan yang mempunyai misi dan visi berbeda. Akhirnya
apabila muncul ketegangan di antara berbagai kepentingan tidak dapat melepaskan
diri dari atribut kepentingan politik atau ekonomi yang disandangnya. Apalagi
memiliki kekuasaan politik berarti mempunyai kekuasaan yang lebih dibanding
yang lain. Hal inilah yang seringkali menimbulkan pertikaian dalam kehidupan
beragama. Memang dalam sejarah banyak sekali variasi dalam hubungan antara
agama dengan kekuasaan dan negara, sebagaimana contoh dari sejarah umat Kristen
(Siagian, 1987) sebagai berikut :
a.
Hubungan pertentangan, agama menantang penguasa dan negara yang dianggap
sebagai golongan yang jahat. Dalam hal ini agama tidak mau tahu tentang
persoalan politik, tujuannya hanyalah mengatur keselamatan penganutnya.
b.
Hubungan kebersamaan, agama dianggap identik dengan pejabat tinggi/ politik
atau penguasa politik
c.
Hubungan dominasi, antara tokoh agama dan politik saling menguasai secara
politik.
d.
Hubungan pemisahan, agama lepas sama sekali dari negara dan tidak mau campur
tangan dalam masalah pemerintahan.
e.
Hubungan dialogis, agama berusaha mempengaruhi negara tanpa menguasainya dan
negara mengharapkan dukungan dari agama. Biasanya di Indonesia terjadi situasi
seperti ini ada kesan "malu-malu" dari tokoh agama untuk masuk ke
panggung politik, begitu juga para penguasa pemerintahan sulit bergerak bila
tidak mendapatkan dukungan dari tokoh agama, namun tidak ingin mereka terlalu
berkuasa di pemerintahan.
5.
Kurangnya wawasan akan ilmu keagamaan
Sebagaimana
diketahui cara pemahaman masyarakat akan kehidupan beragama lebih diarahkan
pada kegairahan beragama, bukan pada perluasan cakrawala keagamaan. Akhirnya
masyarakat lebih mementingkan kharismatisme dan pengkultusan tokoh agama, bukan
pada cara-cara menggunakan analisis atau pemahaman hakekat keagamaannya
(Isngadi dalam Surya, 11 April 1997). Hal inilah yang kadang-kadang bisa menimbulkan
deindividuasi pengikut keagamaan untuk selalu mengikuti kehendak pemimpin
keagamaan yang belum tentu selalu benar.
6.Terakumulasinya
permasalahan sosial ekonomi, seperti kemiskinan, meningkatnya pengangguran dan
tidak stabilnya harga kebutuhan pokok, yang tidak terselesaikan dapat pula
menjadi pemicu dasar kerusuhan, apalagi bila dikaitkan dengan persoalan agama.
Agama bisa menjadi precipitating factor / event yang ampuh dalam memunculkan
kerusuhan. Apalagi ada provokator yang mampu me"manage" isu sehingga
mudah membakar massa yang sudah frustasi dengan seabreg ketidakpuasan.
Menggalang
Toleransi sebagai Solusi Efektif dalam Penyelesaian Konflik Antar Umat Beragama
Permasalahan-permasalahan
konflik antar umat beragama seharusnya mendapatkan perhatian yang lebih serius
dari semua pihak, karena penyelesaian persoalan ini harus lebih komprehensif.
Beberapa solusi tersebut antara lain :
1.
Lebih cepat dan tanggap dalam memperhatikan berbagai ketidakpuasan yang terjadi
di masyarakat.
Sebagaimana
diketahui ketidakpuasan (subjective dissatisfaction) menjadi faktor utama
munculnya gerakan sosial (Matulessy, 1997). Selama masih banyak persoalan
tentang ketidakadilan, pengangguran dan tekanan ekonomi dikaitkan atau
dijadikan dasar munculnya konflik antar umat beragama.
2.
Perlu tindakan hukum yang lebih tegas dan transparan pada pemicu kerusuhan.
Selama
ini ada kesan pelaku kerusuhan tidak pernah mendapatkan law enforcement yang
sepadan, karena adanya kendala bukti dan saksi dalam kegiatan massa sulit
didapatkan serta dukungan dari tokoh agama dan anggota kelompok agamanya
membuat polisi sulit untuk memberikan punishment kepada mereka.
3.
Meningkatkan komunikasi di antara umat beragama untuk mengurangi prasangka
serta mempererat kerukunan.
Komunikasi
ini dalam bentuk dialog interaktif secara kontinu dengan tujuan untuk membangun
kesadaran sebagai bagian dari masyarakat plural; kegiatan bersama untuk
membangun rasa percaya di antara umat beragama, serta refleksi & renungan
keagamaan untuk mensikapi perbedaan visi keagamaan.
4.
Kesadaran dari para pemuka agama untuk tidak menjadikan agama sebagai alat
politik
Hal ini
memang tidak mudah, karena politik berarti kekuasaan, dan agama merupakan
kendaraan politik yang paling ampuh untuk mendapatkan kekuasaan. Padahal
sebagian besar pemeluk agama tergolong pada masyarakat level bawah, yang
mengedepankan emosi pada para pemimpin agamanya (politik), ditambah dengan
kekurangmampuan mengulas konflik dengan lebih bijaksana dalam tataran wacana,
sehingga mudah sekali digiring pada aksi brutal untuk mempertahankan agamanya
(pemimpin). Oleh karena itu pemimpin keagamaan diharapkan mengurangi perannya
dalam politik atau tidak memunculkan pendapat yang sudah dirasuki oleh
kepentingan politik. Selain itu menumbuhkan suasana yang sejuk serta tidak
menguatkan klaim kebenaran yang mengarah pada fanatisme yang keliru.
Dari
berbagai model solusi di atas, sebenarnya penyelesaian yang terfokus pada
peningkatan kesadaran kelompok keagamaan merupakan cara yang paling efektif
dalam menurunkan konflik antar agama. Pembinaan pada pemeluk agama diarahkan
pada peningkatan kualitas akan nilai-nilai kebenaran dan menumbuhkan sikap
toleransi adalah sesuatu yang paling efektif daripada mengkonsentrasikan pada
penambahan jumlah pengikutnya. Namun demikian pada kehidupan social yang
semakin penuh dengan kompetisi, maka penghayatan akan toleransi masih merupakan
wacana yang sulit untuk diimplementasikan pada tingkatan realitas. Sekali lagi
orang masih melakukan proses heuristics atau mental short-cut dalam
mempersepsikan segala hal yang terkait dengan orang lain. Ada prototype di
dalam struktur kognitif seseorang yang dibangun dari sebuah proses interaksi
dan internalisasi dengan lingkungan sosialnya, dalam arti kultur, agama, etnis
atau lingkungan keluarga. Prototype tsb tidak selalu benar, banyak distorsi
kognitif yang menyulitkan munculnya toleransi pada orang lain. Selain itu
egoisme pribadi yang menetapkan diri pribadi atau kelompoknya menjadi tolok
ukur dalam menilai orang lain pun akan meyulitkan seseorang untuk bertoleransi
dengan orang atau kelompok lain.
Di
dalam kehidupan bermasyarakat ada kecenderungan orang masih berfikir “senang
melihat orang lain sakit, atau sakit hati bila melihat orang lain senang”.
Padahal toleransi harus didasari oleh kebutuhan kita untuk share/ saling
berbagi persoalan dengan yang lain tanpa saling menghalangi; mampu berempati
atau mampu merasakan apa yang sedang terjadi pada orang lain, kemampuan empati
seperti ini memang tidak mudah untuk dilakukan selama tidak ada keterbukaan
hati dan pikiran kita akan keberadaan orang lain; simpati pada apa yang
dilakukan orang lain, selalu melihat bahwa apa yang dilakukan orang lainpun
patut kita hargai; menghormati pendapat, pandangan, keyakinan, customs,
perilaku, agama, suku dan segala atribut orang atau kelompok lain, kondisi
seperti ini bisa tercapai apabila kita terbiasa untuk berkomunikasi dengan
berbagai typical orang yang berbeda, fanatisme menggumpal karena jarang ada
interaksi dan komunikasi dengan orang atau kelompok lain; tidak selalu menilai
orang lain berdasarkan subjektifitas dirinya, bahaya menggunakan subjetivitas
adalah semakin menyulitkan kita untuk menerima kehadiran dan perubahan yang
terjadi pada orang lain, karena setiap orang mau tidak mau akan selalu berubah,
sehingga pandangan kitapun harus berubah, selain itu objektivitas muncul
apabila kita mampu berinteraksi; mengedepankan consensus daripada konflik
dengan individu lain, selama ini penyelesaian dengan berkonflik dianggap lebih
sesuai dalam mencapai tujuan diri dan kelompok, padahal sekali konflik muncul
akan semakin sulit kita mengendalikan untuk tidak berkonflik atau akan muncul
jenis konlik lain yang semakin parah; menumbuhkan pemahaman yang lebih mendalam
tentang segala persoalan yang terjadi pada orang lain, memahami orang lain
tidaklah mudah, karena harus didasari oleh kebersihan nurani untuk melihat
segala persoalan dengan lebih hati-hati dan jernih; tidak ada keinginan untuk
mengalahkan orang lain, dalam arti tidak selalu melihat kelompok lain sebagai musuh
namun lebih menekankan pada kemenangan semua pihak, karena semua pihak adalah
mitra dalam kehidupan sehari-hari; serta menetapkan bahwa kerjasama adalah
modal social yang paling utama dalam membangun interaksi bersama.
Tanpa
adanya toleransi antar kelompok agama, maka jangan harap segala capaian atau
keinginan akan perubahan pada masa depan negara ini akan tercapai.
ijin copy kak buat tugas :)
BalasHapusKomentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapusiyaa silahkan kak
BalasHapuskonflik memang banyak di perlihatkan di mana saja, bahkan di keluarga dan agama pun bis terjadi konflik, baiknya aabila kita menyokong perdamaian yang aman dan abadi
BalasHapusnana : jelas bisa kitamenyokong p[erdamaian itu dengan diri kita sendiri mulai membenahi diri kita dan mengingatkan yang ada di sekitar kita termasuk anda jugga
BalasHapustoleransi itu memang penting banget untuk umat beragama yang mana toleransi itu dapat meredam konflik dalam perbedaan beragama
BalasHapusakhir-akhir ini dah minim banget yang namanya toleransi kak, trs gimana dong kak biar masalah spt ini dpt terpecahkan?
BalasHapus