Konflik
global antarumat manusia yang terjadi dalam satu abad ini telah menyadarkan
kita, betapa umat manusia telah hidup dalam permusuhan dan pertikaian. Selalu saja, ada konflik antarumat manusia di
seluruh penjuru dunia. Agama adalah
salah satu instrumen konflik global yang terjadi di muka bumi. Perang Irak-Iran, Perang Arab-Israel, Perang
Teluk, Perang Afghanistan, dan terakhir Peristiwa 11 September dan Tragedi Bali
adalah bukti keterkaitan agama dengan konflik politik dunia global.
Kondisi
demikian ini, semakin memperkuat solidaritas agama lintas teritorial (kawasan)
negara. Umat manusia benar-benar diikat
oleh keyakinan agama untuk membela saudara-saudara di negara lain, bukan lagi
solidaritas kemanusiaan kaum tertindas.
Sehingga isunya bukan lagi isu politik (teritorial, ekonomi, atau
budaya), melainkan sudah menjadi isu agama.
Inilah yang selama ini terjadi di negara-negara Muslim ketika terjadi
benturan dengan sesama Muslim, dan bahkan dengan dunia non-Muslim sejak berabad-abad
yang lalu. Konflik politik berubah
menjadi konflik agama oleh karena agama digunakan sebagai basis dukungan
politik.
Fenomena
ini menunjukkan betapa tata dunia yang damai belum menjadi kesadaran hidup
global antarumat beragama. Impian dunia
yang damai seakan sirna oleh ego politik, ekonomi, dan agama umat manusia. Di sinilah, agama kehilangan makna otentiknya
sebagai petunjuk jalan menuju kedamaian.
Sebab, agama sekedar memperkuat makna teologis yang ekslusif dan
intoleran. Parahnya lagi, yang terjadi
adalah radikalisasi umat beragama, bukan kulturalisasi yang inklusif dan
toleran.
Radikalisme Agama
Agama
dalam sejarahnya selalu menjadi pijakan teologis umat manusia. Meskipun
Karx dan Nietzche berpandangan sinis terhadap agama, akan tetapi agama
tidak pernah kehabisan pengikut. Agama
tidak pernah hilang ditelan modernisasi.
Ini berbeda dengan tradisi (adat) yang bisa musnah dimakan oleh arus
deras laju modernisasi. Namun demikian, agama sekarang ini mulai terdesak
peranannya oleh rasionalitas manusia modern, yang serba canggih.
Karena
itulah, tantangan agama di masa modern adalah semakin berkurangnya peran agama
di dalam komunitas masyarakat modern.
Pada gilirannya, fenomena ini menjadikan pengikut agama mendefinisikan
eksistensi agamanya untuk mensikapi modernitas yang serba-rasional dan
sekuler. Itu sebabnya, di dalam
komunitas agama ada yang frustasi dengan penyingkiran agama oleh proses
modernisasi yang rasional dan sekuler.
Munculnya fundamentalisme dan radikalisasi agama adalah bagian dari
dialektika yang negatif antara agama dengan modernisasi. Hal ini tampak sekali dari pengalaman umat
Islam di beberapa kawasan dunia yang banyak melahirkan radikalisasi akibat
serangan bertubi-tubi Barat lewat demokrasi, HAM, dan isu gender ke negara-negara
Muslim. Tak pelak lagi, banyak
bermunculan sikap penolakan terhadap konsep modern Barat secara radikal akibat
tidak tersedianya doktrin agama (Islam) yang eksplisit tentang itu. Alih-alih konsep modern Barat justru
mengkritik dan menyerang doktrin agama yang berasal dari Tuhan. Inilah yang menjadikan umat beragama
mengalami proses radikalisasi terhadap agamanya dengan karakternya yang keras,
agresif, dan militan.
Secara
psikologis, sikap radikal umat beragama seringkali merupakan ungkapan yang tidak
disadari dari chaos dan ketegangan dalam tubuh agama itu sendiri. Kecemasan akibat tuntutan sekular yang sering
tak terhindarkan, ketidakpastian dogmatik akibat keragaman interpretasi, serta
krisis identitas akibat persaingan sosio-kultural global yang tajam, dan
sebagainya mudah memantul secara terselubung dalam bentuk-bentuk fanatisme dan
kekerasan religius terhadap pemeluk agama lain.
Yang dianggap musuh itu bisa jadi sebenarnya hanyalah simbol-simbol dari
kekacauan tanpa bentuk dalam diri mereka sendiri.
Dengan
demikian, radikalisasi adalah sikap ketidakberdayaan melawan pengaruh luar yang
begitu dahsyat tanpa bisa melakukan apresiasi konstruktif. Maka dari itu, radikalisasi umat seringkali
diekspresikan melalui sikap penolakan, pengkafiran, dan kekerasan. Hal ini tentu saja menunjukkan betapa problem
internal umat untuk berinteraksi dengan kenyataan sosial tidak mampu
diselesaikan dengan baik.
Pengalaman Umat Islam Indonesia
Indonesia
adalah negara yang berpenduduk Muslim terbesar di dunia dan dalam percaturan
politik di kawasan Asia Tenggara (Meski Islam di Asia Tenggara sering disebut
sebagai Islam periferal (Islam pinggiran), dalam kenyataannya perhatian Barat
terhadap dunia Islam tidak saja terfokus kepada wilayah Timur Tengah. Islam di Asia Tenggara kini menjadi perhatian
Barat setelah perkembangan Islam yang luar biasa di Malaysia, Indonesia, dan
Filiphina. Karena itu, Islam di
Indonesia tidak bisa diabaikan begitu saja dalam percaturan politik global
dewasa ini.) memiliki peran yang sangat
strategis. Karena itu, Islam di
Indonesia dewasa ini memiliki daya tarik yang luar biasa bagi beberapa pengamat
sejak lengsernya Orde Baru, dan bahkan sejak Tragedi 11 September Kelabu, yang
telah menajamkan konflik Islam-Barat.
Kecenderungan
ini sebenarnya lebih disebabkan oleh gejala bangkitnya gerakan Islam di
Indonesia yang semakin bercorak radikal.
Secara internal, sikap gerakan Islam yang memperjuangkan syariat Islam
menjadi hukum negara dan secara eksternal, bersikap anti-Barat (Amerika Serikat)
melalui aksi protes, unjuk rasa, atau demontrasi, telah menjadikan asumsi
kelompok di luarnya menyebut sebagai gerakan radikal.
Semenjak
kejatuhan Orde Baru, kelompok Islam radikal menemukan momentumnya untuk
melakukan akselerasi politik secara kultural (ormas Islam) dan struktural
(partai Islam). Peminggiran yang
dilakukan rezim penguasa Orde Baru tampaknya menjadi spirit untuk melakukan
gerakan di saat yang tepat. Munculnya,
FPI, Laskar Jihad Ahluusunah Waljama'ah, Majelis Mujahidin, Hizbut Tahrir, Ikhwanul
Muslimin, HAMMAS, dan lain sebagainya, yang dirancang sebagai gerakan kultural
dan maraknya pendirian partai-partai Islam, seperti PUI (Partai Umat Islam),
PKU (Partai Kebangkitan Umat), Partai Masyumi Baru, PPP, PSII (Partai Syarikat
Islam), PSII 1905 (Partai Syarikat Islam 1905), Masyumi (Partai Politik Islam
Masyumi), PBB, PK, PNU (Partai Nahdlatul Ummat) dan PP (Partai Persatuan)
sebagai gerakan struktural telah menjadi imaginasi bangkitnya Islam secara
lebih tegas.
Dua
strategi gerakan ini menjadi penting ketika rezim yang berkuasa memberikan
angin kebebasan setelah lama gerakan Islam dipinggirkan secara politik oleh
rezim Orde Baru. Hasilnya, adalah
partai-partai Islam (PPP dan PBB) memperjuangkan Piagam Jakarta melalui jalur
konstitusional demokrasi (parlemen), sedangkan ormas-ormas Islam radikal
memperjuangkan syariat Islam melalui jalur kultural; dakwah Islam dan aksi
unjuk rasa, baik ke parlemen maupun ke istana negara. Kolaborasi ini tampaknya menjadi kekuatan
untuk melakukan perubahan secara bertahap di dalam sistem sosial dan kenegaraan
bangsa Indonesia. Pada gilirannya,
atribut, slogan, dan nama-nama Islam begitu ramai diteriakan sebagai bagian
dari pentas kekuatan dan pentas perjuangan.
Pergerakan
Islam radikal memang sedang merambah ke wilayah-wilayah yang berpenduduk
mayoritas Muslim di seluruh dunia.
Indonesia dan Malaysia, yang secara statistik berpenduduk mayoritas
Muslim telah mengalami gejala globalisasi Islam radikal. (Secara lebih tegas Bassam
Tibi menggunakan istilah fundamentalisme Islam, yang telah menjadi fenomena
global dalam politik dunia. Lihat Bassam
Tibi, Ancaman Fundamentalisme Rajutan Islam Politik dan Kekacauan Dunia Baru,
(Yogyakarta: Tiara Wacana,2000), hlm. 3.)
Realitas ini dapat dilihat dari perkembangan kelompok Abu Sayyaf
pimpinan Abu Bakar Janjalani di Filiphina, Laskar Jihad dan Front Pembela Islam
(FPI), Hizbut Tahrir, Majelis Mujahidin, Ikhwanul Muslimin, dan lain sebagainya
di Indonesia, dan Kelompok Mujahidin Malaysia (KMM) sebuah organisasi di bawah payung
PAS di Malaysia. Mereka dianggap telah
mengembangkan operasi selama beberapa tahun terakhir, menghimpun dana, melatih
milisi, materi dan pengalaman untuk melawan Barat (Amerika Serikat), di samping
memperjuangkan Islam secara radikal.
Karena itu, oleh media Barat, mereka sering disebut kelompok Islam
fundamentalis.
Agama Tanpa Konflik
Berpijak
pada realitas radikalisasi umat yang begitu kuat, maka sudah saatnya kita
berkewajiban mengembalikan pesan otentik agama sebagai wahyu yang
kultural. Hal ini dilakukan agar agama
dapat diimplementasikan di dalam dunia yang selalu berubah. Sebab, seringkali agama dimanipulasi untuk
mengukuhkan eksistensinya dengan masa lalu tanpa merespons secara kreatif
dengan dunia modern. Padahal, agama yang
tidak mengikuti makna konstekstualnya akan kehilangan eksistensi dirinya yang
akomodatif terhadap perubahan. Bukanlah,
agenda agama-agama sejak awal diwahyukan adalah berdialog dengan problem sosial
umat manusia? Karena itulah,
mendialogkan agama dengan problem-problem sosial adalah suatu keniscayaan,
karena agama tidak lahir dari ruang hampa.
Ketika agama tidak disampaikan melalui budaya, ia akan memicu munculnya
ideologisasi "semu" terhadap agama, yakni sikap keberagamaan yang
berlebihan dan radikal. Hal ini terjadi
karena masyarakat tidak diajari untuk memahami, tetapi meyakini agama. Agama hanya menjadi lambang eksistensi. Ia lahir bukan dari sebuah refleksi kesadaran
yang sesungguhnya, malainkan lebih merupakan upaya penguatan status quo agama
itu sendiri.
Dengan
demikian, penghayatan umat terhadap agamanya adalah kunci pokok terjadinya
proses radikalisasi. Di sinilah
urgensinya meng"kultural"kan agama dalam kehidupan sosial umat
manusia agar dapat memahami dan menyadari agamanya sebagai jalan kultural
menuju perdamaian. Jika agama hanya
dijadikan instrumen politik, maka agama akan dimanipulasi untuk kepentingan
politik yang sifatnya sesaat. Akankah,
agama yang diturunkan oleh Tuhan sebagai jalan hidup manusia menjadi jalan
kematian manusia? Tentu saja tidak. Manusia ingin hidup bahagia, sejahtera dan
damai. Maka, jalan yang ditempuh dalam
beragama bukan lagi jalan kekerasan yang merusak, tetapi jalan kedamaian yang
membahagiakan. Inilah sesungguhnya pesan
otentik kepada umat manusia. Karena itu,
setiap perbedaan agama bukan menjadi masalah bagi kita sebagai umat beragama,
melainkan justru memperkaya pluralitas umat manusia.
Di
tengah-tengah semakin kerasnya kehidupan umat manusia dengan tontonan konflik
dan perang yang melibatkan faktor agama, maka para pemuka agama memiliki
peranan penting untuk mengambil bagian dalam usaha perdamaian dunia. Mereka bisa tampil sebagai suatu kekuatan
untuk memformulasikan etika global yang diharapkan dapat menunjang kelangsungan
perdamaian dunia. Meminjam komentar Hans
Kung, cendekiawan asal Jerman, tidak akan ada suatu tatanan dunia (global
system) yang sukses jika tidak dilengkapi dengan etika dunia (global
ethic). Komitmen inilah yang pernah
dilakukan para pemuka agama, ketika pada tahun 1993 untuk pertama kalinya dalam
sejarah agama-agama, 6500 anggota Majelis Parlemen Agama-agama Dunia bertemu di
Chicago, Amerika Serikat, untuk menciptakan Declaration Toward a Global Ethic,
deklarasi menuju tercapainya suatu etika global. (Alwi Shihab, Islam Inklusif,
(Bandung: Mizan, 1999)).
Deklarasi
ini sama halnya dengan Deklarasi Hak-hak Asasi Manusia yang dicanangkan pada
tahun 1776 di Amerika Serikat yang merupakan langkah awal menuju kehidupan
moral bangsa. Deklarasi etika global ini
pun menandai awal dari usaha panjang untuk mengorientasikan penduduk dunia
menuju sikap saling pengertian, saling menghargai, dan kerjasama. Deklarasi ini berupaya untuk memadukan serta
memberi tekanan kepada persamaan-persamaan yang terdapat dalam ajaran moral
agama-agama dunia masa kini.
Oleh
karena itu, diperlukan komitmen perdamaian untuk masa depan peradaban umat
manusia. Kampanye rekonsiliasi dan
penghentian kekerasan menjadi bagian penting bagi perdamaian dunia. Maka menjadi penting, jika etika global yang
mencerminkan sikap kerjasama, persahabatan dan perdamaian dapat diwujudkan di
kawasan yang sedang menghadapi konflik dan perang. Dengan spirit ini, baik dari pemuka agama
maupun elite politik internasional, konflik dapat segera diakhiri. Demi perdamaian sejati, seluruh komponen
masyarakat global ikut terlibat di dalamnya secara aktif.
Maka
untuk sekarang ini sudah saatnya membangun perdamaian dunia dengan spirit
agama. Komitmen ini diharapkan dapat
memberikan kontribusinya bagi proses sosialisasi dan penyadaran hidup damai
sekaligus untuk mempersempit ruang konflik agama di dunia global. Kini, sudah saatnya hidup damai abadi; tidak
ada lagi konflik dan perang yang terjadi di muka bumi ini. Sejarah hidup umat manusia harus menjadi
sejarah yang damai tanpa konflik.
Dalam
konteks ini, upaya yang paling memungkinkan bagi kita adalah mendefinisikan
kembali hidup toleran dan damai.
Paradigma hidup toleran dimulai dari sikap keberagamaan yang hanief,
seperti yang menjadi ajaran Islam, bahwa hidup adalah untuk kedamaian, bukan
untuk kekerasan. Di dalam Islam,
hubungan antara warga dalam suatu komunitas diatur dengan prinsip kerjasama,
toleransi, dan ajakan damai. Masyarakat
Madinah adalah bukti konkret betapa komunitas Islam hidup damai antar etnik
(suku, kabilah) dan agama.
Seperti
pernah dikisahkan dalam suatu hadits, "Ketika datang rombongan Nasrani
Najran berjumlah lima belas orang yang dipimpin oleh Abu al-Harits, Rasulullah
berdialog dengan mereka dan mempersilahkan mereka untuk melakukan ibadah di
Masjid Nabawi, sedangkan Rasulullah beserta sahabat shalat di bagian
lain". Bahkan, Nabi Muhammad SAW
pernah bersabda, "dan sesungguhnya sebaik-baik agama di sisi Allah adalah
semangat pencarian kebenaran yang lapang (al-hanifiyah al-samhah)". Pernyataan Nabi SAW ini memberikan dasar bagi
terwujudnya masyarakat, bangsa dan agama yang toleran. Sehingga, Islam dalam sejarahnya adalah agama
toleran, inklusif, dan damai.
Islam
sesungguhnya tidak mengajarkan kekerasan dan kerusakan di muka bumi. Karena Islam adalah agama rahmatan lil
'alamin (rahmat bagi semua alam). Islam
tidak sekedar menjadi rahmat bagi pengikutnya, tetapi lebih dari itu menjadi
rahmat bagi pengikut agama lain, umat lain, dan bahkan semua mahluk yang
diciptakan Tuhan. Inilah yang
ditunjukkan oleh Muhammad SAW kepada semua umat sejak di Mekah sampai di
Madinah.
Karena
itulah, seorang orientalis asal Perancis, Louis Gardet sampai menyebut model
masyarakat Islam klasik sebagai "masyarakat inklusif" (mujtama'
munfatih). Yakni, masyarakat yang tidak
bersikap keras dan radikal terhadap komunitas lain (outsider community). Dengan demikian, cita-cita ideal komunitas
Islam benar-benar terwujud dan menjadi referensi historis untuk melanjutkannya
di masa sekarang.
Nabi-nabi
sebelum Muhammad pun, seperti Musa (Yahudi) dan Isa (Kristen) selalu mengajak
cinta kasih kepada umatnya. Sehingga
secara teologis, semua agama mengajarkan kedamaian dan persaudaraan. Kesatuan transendental agama di dunia ini
adalah persaudaraan, perdamaian dan cinta kasih. Sebab, agama tidak mengajarkan kekerasan dan
kekacauan yang bertentangan dengan cita-cita kemanusiaan universal.
Dalam
konteks inilah, kita sekarang ini sangat mendambakan bangsa yang toleran di
Indonesia demi masa depan kemanusiaan universal. Maka, dengan semangat agama yang toleran,
bangsa kita akan menjadi bangsa yang toleran.
Cita-cita ini adalah gambaran asli dari keberagamaan yang otentik di
dalam komunitas masyarakat dan bangsa yang plural. Ini dilakukan demi terciptanya komunitas
plural yang toleran dan inklusif.
Sekat-sekat primordial-keagamaan tidak boleh lagi menghalangi pergaulan
antar agama, karena inilah tantangannya di dalam masyarakat plural.
Dengan
pijakan agama yang jelas tentang hidup toleran, Indonesia sebagai bangsa yang
berpenduduk Muslim terbesar di dunia diharapkan dapat mewujudkan hidup secara
damai dan toleran. Keyakinan keagamaan
yang tidak radikal akan mengantarkan pada kenyataan positif untuk hidup
bersanding dengan agama lain secara wajar.
Hidup bersama tanpa penghalang keyakinan, agama, dan identitas kelompok
(etnis) akan menjadikan bangsa kita sebagai bangsa yang terbuka.
Kesemuanya
ini adalah cita-cita kita semuanya sebagai umat manusia, tanpa melihat
identitas etnik dan agamanya. Paradigma
hidup toleran adalah tujuan kita sebagai bangsa yang menjunjung harkat
keberbedaan dan sedang menghadapi tantangan pluralitas yang terkoyak.
terimakasih.. :)
BalasHapusiya kembali kasih kak:)
BalasHapusharus ada cinta di lingkungan kita agar tidak terjadi konflik yang terjadi di indonesia
BalasHapusnana: benar sekali dari mana lagi cinta dan kassih akan ada jika kita sendiri tidak menciptaaannya
BalasHapusini yang dinamaka indah, walaupun berbeda-beda tetapi tetap satu dalam perdamaian
BalasHapussuka deh kalo liat yang namanya keindahan dalam perdamaian, hati saya jadi adem loh kak. hdup itu berasa tenang kak
BalasHapus